Laman

Tuesday, January 24, 2012

Museum kereta yogyakarta

Di sekitar area Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, terdapat sebuah museum khusus yang tidak ditemui di tempat lain. Museum itu adalah Museum Kereta Keraton Yogyakarta. Kereta-kereta tersebut dulunya merupakan kendaraan utama Kasultanan Yogyakarta yang digunakan baik untuk kepentingan Keraton maupun pribadi.
Keberadaan Museum Kereta sudah dirintis pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Kereta koleksi museum ini telah berusia puluhan bahkan ada yang mencapai usia ratusan tahun. Beberapa masih digunakan dalam upacara-upacara kebesaran Keraton. Adapun kereta yang tidak pernah digunakan lagi dikarenakan pertimbangan faktor usia dan sejarah yang pernah dilalui kereta-kereta tua tersebut.
Secara ringkas, bila disusun berdasar tahun pembuatan atau pembeliannya, kareta-kareta tersebut dirinci sebagai berikut.
  1. Kareta Kanjeng Nyai Jimad. Kerata ini merupakan pusaka Kraton, dibuat oleh Belanda pada tahun 1750. Kereta ini adalah hadiah dari Spanyol yang pada saat itu sudah memiliki hubungan dagang dengan pihak kerajaan. Kereta ini digunakan sebagai alat transportasi sehari-hari oleh Sri Sultan HB I-III. Kereta ini ditarik oleh delapan ekor kuda. Kondisi seluruhnya masih asli. Pegas kereta ini terbuat dari kulit kerbau. Setiap tahun, pada bulan satu Suro (Muharram), dilakukan upacara pemandian untuk kereta ini .
  2. Kareta Mondro Juwolo. Kereta ini adalah kereta yang dipakai oleh Pangeran Diponegoro.  Kereta ini dibuat oleh Belanda tahun 1800 dan ditarik oleh enam ekor kuda.
  3. Kareta Kyai Manik Retno. Kereta ini dibeli pada masa pemerintahan Sri Sultan HB IV, tahun 1815. Kereta ini dibuat oleh Belanda. Kereta ini digunakan oleh sultan bersama dengan permaisuri. Kereta untuk pesiar ini ditarik oleh empat ekor kuda.
  4. Kareta Kyai Jolodoro. Kereta ini dibuat Belanda pada tahun 1815 dan merupakan peninggalan Sri Sultan HB IV. Kereta Jolodoro adalah kareta pesiar. Kereta ini ditarik empat ekor kuda.
  5. Kareta Kyai Wimono Putro. Kereta ini dibeli pada masa pemerintahan Sri Sultan HB VI, tepatnya tahun 1860. Digunakan pada saat upacara pengangkatan putra mahkota.  Kereta ini ditarik oleh enam ekor kuda. 
  6. Kareta Garudo Yeksa. Kereta ini dibuat oleh Belanda pada tahun 1861, yaitu pada masa Sri Sultan HB VI. Kereta ini digunakan untuk penobatan seorang sultan. Kereta ini ditarik delapan ekor kuda yang sama warna dan jenis kelaminnya. Kereta ini juga disebut Kareta Kencana (kareta emas). Semua yang ada di kereta ini masih asli termasuk simbol/lambang burung garuda yang terbuat dari emas 18 karat seberat 20 kg. Desain kereta datang dari Sri Sultan HB I. Pengendali kuda hanya satu orang. Kereta ini terahir dipakai untuk penobatan sultan yang ke X  pada tahun 1989. Kereta ini masih dapat dipakai sampai sekarang.
  7. Kareta Kyai Harsunaba. Kereta ini merupakan sarana transportasi sehari-hari dari masa Sri Sultan HBVI-VIII. Kereta ini dibeli pada tahun 1870 dan ditarik oleh empat ekor kuda.
  8. Kareta Kyai Jongwiyat. Kereta ini dibuat di Den Haag, Belanda, pada tahun 1880. Kereta ini adalah peninggalan Sri Sultan HB VII dan digunakan untuk manggala yudha atau dalam peperangan, misalnya untuk memeriksa barisan prajurit dan sebagainya.  Kareta ini ditarik oleh enam ekor kuda. Pada saat Sri Sultan HB X menikahkan putrinya, kareta ini kembali digunakan.  
  9. Kareta Roto Biru buatan Belanda pada tahun 1901, tepatnya pada masa Sri Sultan HB VIII. Kereta ini dinamakan Roto Biru karena didominasi oleh warna biru cerah yang melapisi kereta sampai ke bagian roda-nya. Dipergunakan untuk manggala yudha bagi panglima perang. Pada saat HB X menikahkan putrinya, kareta ini digunakan untuk mengangkut besan mertua. Kareta ini ditarik oleh 4 ekor kuda.
  10. Kareta Kus Sepuluh. Kereta ini adalah kereta buatan Belanda pada tahun 1901, yaitu pada masa Sri Sultan HB VIII. Aslinya adalah kereta Landower dan bisa dipergunakan untuk pengantin.  
  11. Kareta Kus Gading. Kereta ini dibeli pada masa Sri Sultan HBVIII. Kereta ini buatan Belanda pada tahun 1901 dan ditarik oleh empat ekor kuda.
  12. Kyai Rejo Pawoko. Kereta ini dibuat pada tahun 1901 pada masa pemerintahan Sri Sultan HB VIII dan diperuntukkan sebagai sarana transportasi bagi adik-adik Sultan. Kereta ini ditarik oleh empat ekor kuda.  
  13. Kareta Landower. Kareta ini dibuat oleh Belanda pada jaman pemerintahan Sri Sultan HB VIII pada tahun 1901. Kereta ini ditarik oleh empat ekor kuda.
  14. Kareta Landower Wisman. Kereta ini dibeli dari Belanda pada tahun 1901, yakni pada masa pemerintahan Sri Sultan HB VIII. Kereta ini digunakan sebagai sarana transportasi pada saat sultan melakukan penyuluhan pertanian. Kereta ini ditarik oleh empat ekor kuda.
  15. Kareta Landower. Kereta ini dibeli pada masa Sri Sultan HB VIII pada tahun 1901. Kereta ini buatan Belanda. Kereta ini ditarik oleh empat ekor kuda.
  16. Kareta Premili. Kareta ini dirakit di Semarang pada tahun 1925 dengan suku cadang yang didatangkan langsung dari Belanda. Kereta ini digunakan untuk menjemput penari-penari Kraton. Kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda ini.
  17. Kareta Kyai Kutha Kaharjo. Kereta ini Dibeli pada jaman pemerintahan Sri Sultan HB IX, dan dibuat di Berlin pada tahun 1927. Digunakan untuk mengiringi acara-acara yang diselenggarakan oleh Kraton, kereta ini ditarik oleh empat ekor kuda.
  18. Kareta Roto Praloyo. Kereta ini merupakan kareta jenazah yang dibeli pada masa Sri Sultan HB VIII pada tahun 1938. Kereta inilah yang membawa jenazah Sultan hamengkubuwono IX dari Keraton menuju Imogiri. Kereta ini ditarik oleh 8 ekor kuda.
  19. Kareta Kyai Jetayu. Kereta ini dibeli pada masa Sri Sultan HB VIII pada tahun 1931. Kereta yang diperuntukkan sebagai alat transportasi bagi putri-putri Sultan yang masih remaja ini, ditarik oleh empat ekor kuda dengan pengendali yang langsung berada di atas kuda.
  20. Kareta Kapulitin. Merupakan kareta untuk pacuan kuda/bendi. Kereta dibeli pada jaman pemerintahan Sri Sultan HB VII yang memang menggemari olah raga berkuda. Kareta ini hanya ditarik oleh seekor kuda saja.
  21. Kareta Kyai Puspoko Manik. Kareta ini dibuat di Amsterdam, Belanda. Kereta ini digunakan sebagai sarana pengiring acara-acara Kraton termasuk untuk pengiring pengantin. Kereta ini ditarik oleh empat ekor kuda.
  22. Kareta Landower Surabaya. Kareta ini sudah dipesan dari masa Sri Sultan HB VII namun baru bisa dipakai pada saat masa pemerintahan Sri Sultan HB VIII. Kereta ini buatan Swiss dan digunakan sebagai sarana transportasi penyuluhan pertanian di Surabaya.
  23. Kyai Noto Puro. Kereta ini dibuat di Belanda pada masa pemerintahan Sri Sultan HB VII. Kereta ini digunakan untuk aktivitas dalam peperangan. Saat ini bentuk fisiknya sudah mengalami renovasi. Kereta ini ditarik oleh empat ekor kuda.
Kareta-kareta tersebut setiap tahun dibersihkan melalui ritual yang disebut Jamasan. Dalam acara Jamasan itu, semua yang terlibat dalam upacara harus laki-laki dan mengenakan pakaian adat Yogyakarta lengkap dengan surjan dan blangkon. 
                                           foto bersama salah satu narasumber

Selain prosesi upacara, ada satu hal lagi yang unik dan menarik. Salh satu narasumber mengatakann “Selama prosesi jamasan itu, banyak penonton yang umumnya kaum tua berdesakan di sekitar kereta pusaka. Mereka menunggu dengan sabar untuk memperoleh air bekas mencuci kereta, yang dalam bahasa setempat sering diistilahkan sebagai “ngalap berkah”. Hingga sekarang, masih banyak warga yang percaya bahwa air bekas cucian kereta berkhasiat memberikan kesuburan bagi sawah, panjang umur, serta kesehatan. Bahkan tak sedikit yang membasuh wajah dengan air bekas cucian kereta yang mereka kumpulkan dari got di sekitar tempat upacara”.

Wednesday, January 18, 2012

ANTARA KEBERAGAMAN DAN KESERAGAMAN


Oleh Acep Zamzam Noor
BANGSA indonesia sebenarnya memiliki jiwa pluralisme yang kuat karena sejak awal sudah menyadari adanya pluralitas . pluralitas tersebut meliputi Agama, budaya, tradisi, bahasa, suku atau ras yang semuanya dihormati keberadaannya dengan menepatkan pancasila sebagai ideologi negara.  Penetapan ideologi ini bukan sekedar utopia yang muncul dari kepala pendiri negara, namun merupakan gambaran nyata masyarakat indonesia yang memang sejak awal sudah beragama. Bukan hanya beragama, bahkan sudah melebur satu sama lain tanpa harus merasa kehilangan identitas masing-masing.
                Pluralisme adalah sebuah kerangka di mana terdapat interaksi berbagai kelompok  yang menunjukkan rasa saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Semangat pluralisme menawarkan sebuah pemahaman bahwa dalam  menjalani kehidupan manusia mesti saling terbuka. Betapa pun berbeda dalam banyak hal bahkan dalam segala hal, namun tetap bisa hidup berdampingan, bisa saling mencintai dan mengakui keberadaan masing-masing, serta bisa bekerjasama  demi kepentingan dan kesejahteraan semua . apa yang menjadi semangat dari pluralisme tersebut sebenarnya sudah dimiliki  masyarakat kita sejak dulu meskipun tanpa memakai istilah tersebut. Budaya, tradisi, kesenian, juga kearifan dari berbagai suku dan adat di seluruh penjuru tanah air mencerminkan semangat pluralisme itu.
                Hanya sayang, dalam perjalanannya keberagaman yangdimiliki bangsa inibanyak tersandung kepentingan-kepentingan sempit penguasa. Pada masa Orde baru misalnya, keberagaman yang sebenarnya merupakan  sebuah anugerah malah dianggap sebagai ancaman perpecahan segingga muncul upaya untuk menyeragamkannya atau menyatukan perbedaan-perbedaan tersebut dengan alasan persatuan dan kesatuan. Maka lahirlah wacana kebudayaan nasional sebagai puncak kebudayaan-kebudayaan daerah. Namun upaya penyeragaman yang digagas pemerintah ini hasilnya bukan saling melengkapi satu sama lain sehingga menciptakan keutuhan, Melainkan justru menimbulkan benih-benih kecurigaan dan ketakutan di antara kelompok-klompok masarakat, yang mungkin saja sengaja di kondisikan penguwasa untuk melanggengkan kekuasaannya.         

                Di era Reformasi benih-benih kecurigaan dan ketakutan terhadap perbedaan yang disematkan pada era sebelumnya berbuah menjadi tindakan-tindakan nyata yang sangat mengerikan. Kini perang antar suku, perselisihan antar suku, perselisihan antar agama, penerapan syariat yang dipaksakan lewat aturan pemerintah daerah yang diskriminatif, penyerangan terhadap mereka yang berbeda keyakinan terjadi di mana-mana. Di tasikmalaya saja misalnya, hampir setip minggu masjid-masjid ahmadiyah dilempari orang-orang yang tidak bertanggungjawab, begitu juga rumah-rumah penganut Wahidiyah. Sedikit saja warga tionghoa membuat kesalahan yang berbau SARA, tuduhannya adalah pelecehan agama. Peran polisi diambil alih oleh mereka yang mengaku santri.